“Film. Adalah anugerah seni terbesar
dalam kehidupan manusia.” Kalimat itu muncul dari mulut Joni (Nikolas
Saputra) dalam film Janji Joni karya Joko Anwar (Kalyana Shira, 2005). Mungkin
Joni benar. Film, konon adalah kesenian terakhir yang mencakup enam cabang
kesenian lainnya – ditambah teknologi
dan teknik pemasaran. Sebagai sebuah medium, film juga merupakan artefak
kebudayaan sebuah bangsa yang mampu merekam zaman (zeitgeist).
Sebagai
medium yang mampu merekam zaman (zeitgeist),
sudah barang tentu sebuah film dalam perjalanannya akan melalui proses
pertukaran informasi. Dari naluri
keingintahuan ini, berimbas pada perkembangan dunia film. Dan atas dasar itu
pula, tidak sedikit masyarakat pembuat film semakin hari semakin “mendalami” realitas di sekitarnya untuk
“diceritakan kembali” dalam medium
film. Individu yang kompeten, kreatif, serta memiliki tanggung jawab dalam
berkarya sangat menentukan kemana arah perfilman Indonesia akan dibawa?.
Bangkitnya
film Indonesia merupakan kebanggaan setelah mengalami “mati suri” di tanah airnya sendiri. Perkembangan film Indonesia – khususnya
kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Palu, Solo dan Surabaya
sudah terasa geliatnya dengan ditandai oleh berkembangnya komunitas film,
festival film, workshop serta diskusi film secara sinambung. Dan hal tersebut
merupakan salah satu faktor pendukung berkembangnya industeri film di
Indonesia. Sayangnya, keadaan ini tidak disertai dengan banyaknya institusi pendidikan
yang sesuai yang dapat menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten di bidang
perfilman.
Dalam
hal ini maka Indonesia memerlukan institusi pendidikan dengan fasilitas
pendukung yang baik sehingga mampu membekali sumber daya manusianya untuk membuat
film yang berkualitas dan memiliki concern
terhadap perkembangan budaya Indonesia pada khususnya. Untuk mencapai itu
semua, dibutuhkan fasilitas yang mendukung kegiatan film, baik formal maupun
informal sehingga seluruh masyarakat Indonesia mampu memahami akan
kebudayaannya melalui medium film.