Sunday, April 27, 2014

Sekilas tentang pendidikan film di Indonesia



“Film. Adalah anugerah seni terbesar dalam kehidupan manusia.” Kalimat itu muncul dari mulut Joni (Nikolas Saputra) dalam film Janji Joni karya Joko Anwar (Kalyana Shira, 2005). Mungkin Joni benar. Film, konon adalah kesenian terakhir yang mencakup enam cabang kesenian lainnya – ditambah  teknologi dan teknik pemasaran. Sebagai sebuah medium, film juga merupakan artefak kebudayaan sebuah bangsa yang mampu merekam zaman (zeitgeist).
Sebagai medium yang mampu merekam zaman (zeitgeist), sudah barang tentu sebuah film dalam perjalanannya akan melalui proses pertukaran informasi.  Dari naluri keingintahuan ini, berimbas pada perkembangan dunia film. Dan atas dasar itu pula, tidak sedikit masyarakat pembuat film semakin hari semakin “mendalami” realitas di sekitarnya untuk “diceritakan kembali” dalam medium film. Individu yang kompeten, kreatif, serta memiliki tanggung jawab dalam berkarya sangat menentukan kemana arah perfilman Indonesia akan dibawa?.
Bangkitnya film Indonesia merupakan kebanggaan setelah mengalami “mati suri” di tanah airnya sendiri. Perkembangan film Indonesia – khususnya kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Palu, Solo dan Surabaya sudah terasa geliatnya dengan ditandai oleh berkembangnya komunitas film, festival film, workshop serta diskusi film secara sinambung. Dan hal tersebut merupakan salah satu faktor pendukung berkembangnya industeri film di Indonesia. Sayangnya, keadaan ini tidak disertai dengan banyaknya institusi pendidikan yang sesuai yang dapat menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten di bidang perfilman.
Dalam hal ini maka Indonesia memerlukan institusi pendidikan dengan fasilitas pendukung yang baik sehingga mampu membekali sumber daya manusianya untuk membuat film yang berkualitas dan memiliki concern terhadap perkembangan budaya Indonesia pada khususnya. Untuk mencapai itu semua, dibutuhkan fasilitas yang mendukung kegiatan film, baik formal maupun informal sehingga seluruh masyarakat Indonesia mampu memahami akan kebudayaannya melalui medium film.


Monday, October 29, 2012

suatu pagi tanpa kopi



adakalanya saya suka pusing untuk mengawali hari. apalagi terjebak di suasana pagi tanpa kopi dan roti. baiklah, ada apa saja pagi ini? di mulai dari partai-partai yang lolos verifikasi, berita ‘pahit’  kinerja polisi dan tni, kisah dahlan iskan sebagai menteri, jalur narkoba dari dili, bahasa indonesia riwayatmu sebagai sarana edukasi, konsep orchard road jakarta versi jokowi, twitt centil ala syahrini, badai sandy dan pengungsi, kesuksesan pesepakbola bernama messi, dan masih banyak lagi.  setidaknya sudah ada sekitar dua ribu tiga ratus tujuh belas tulisan yang bercerita tentang ulah dan imaji manusia di bumi saat ini. dan saya terpaksa membaca semua itu tanpa kopi? ah, petaka dunia yang sedikit tidak manusiawi. 

beraneka ragam budaya dalam berbagai bahasa yang telah dibaca, menjadi asupan data di kepala. kemudian di cerna dan dijadikan pelajaran baru dalam menyikapi dunia. membaca, salah satu aktifitas manusia yang tidak boleh sirna. 

selamat pagi indonesia, tempat berlindungku di hari tua. izinkan aku membingkaimu dalam sebuah sinema.

Friday, October 19, 2012

surat dari kamar kosan


di sebuah kamar kosan yang tidak terlalu besar. terlihat beberapa macam barang berserakan. pakaian kotor menumpuk tidak beraturan di atas tempat cucian, buku - buku bergeletakan, beberapa puntung rokok bertebaran, gelas - gelas kopi menumpuk di pojokan kamar samping gitar yang hanya menyisakan dua senar, sajadah dan handuk berlipatan. kamar yang berantakan.

nyanyian lagu dari iwan fals mengalun pelan, layar komputer menyala terang, dua paragraf tulisan terlihat samar di mata seorang pemuda yang belajar menjadi dermawan. mukanya sedikit kusam, matanya kelelahan.  ada kerinduan dan juga dendam dibalik parasnya yang tidak terlalu menawan. 

pencarian terhadap kebahagiaan dan kedamaian.

secangkir kopi diseruputnya perlahan. rokok kretek dihisapnya dalam - dalam, asapnya mengepul mengitari temaram lampu pijar. tulisannya di baca berulang - ulang. kenyataannya tidak ada perubahan. menyadari akan itu, matanya terpejam, senyumnya mengembang ketika adzan shubuh berkumandang. kemudian di tulisnya perlahan, "kebahagiaan, kedamaian, adalah hasrat kemanusiaan untuk menemukan jalan menuju rumah peristirahatan, bersemayam, bersatu menuju Tuhan".






surat dari meja makan


pagi menjelang. mentari mulai menerang, membawa harapan bagi setiap insan yang akan melakukan berbagai peran dalam kehidupan. cuaca yang cerah, langit biru dibalut awan putih seperti kapas. ah, indah. jinggle rayuan pulau kelapa terdengar mengalun pelan dari radio republik indonesia yang sempat jaya pada jamannya. sudah dapat dipastikan, harga-harga sembilan bahan pokok merupakan kabar pasar yang selalu ibu nantikan, sebelum dia pergi berangkat mengajar. sedangkan bagi bapak, surat kabar dan kopi hangat itu sebuah komposisi yang pas untuk mengawali hari di bawah hangatnya sinar mentari. kakak? yang saya ingat, setelah sholat dia selalu berangkat lebih cepat. dia tidak mempunyai toleransi terhadap kata terlambat. dan dia rela mengorbankan obrolan di meja makan demi mengejar cita-citanya dimasa depan. suasana pagi hari sebuah  keluarga bahagia di selatan indonesia. sederhana, namun kaya akan cipta dan citarasa bahagia. ya, bahagia.