Wednesday, June 22, 2011

Peta Perfilman Indonesia

   Latar Belakang
         “Film. Mungkin anugerah seni terbesar yang pernah dimiliki manusia.” Kalimat ini muncul dari mulut Joni (Nicholas Saputra) dari film Janji Joni karya Joko anwar (Kalyana Shira, 2005). Mungkin Joni benar. film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi seperti teknologi fotografi dan rekaman suara dan unsur-unsur kesenian seperti seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik.  Ketika Semua unsur tadi terkumpul dan menjadi satu kesatuan utuh yang disebut film lalu bertindak sebagai agen transformasi budaya, film tidak akan tertinggal dan mampu bersaing dengan teknologi media dan seni lainnya.
Dalam kajian media massa, film masuk ke dalam jajaran seni yang ditopang oleh industri hiburan yang menawarkan impian kepada audiensnya yang ikut menunjang lahirnya karya film. Karena itulah, para produser sering kali memperhitungkan selera audiens dalam memproduksi sebuah film.
Sejak pertama kali diputarkannya film nasional Indonesia pada tahun 1926, produksi film nasional Indonesia memang tidak henti-hentinya mengalami gejolak pasang surut. Perfilman Indonesia mencapai puncaknya pada dekade 70 dan 80-an. Ketika itu film-film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal.
Akan tetapi, perkembangan perfilman Indonesia mulai mengalami kelesuan semenjak dekade 90-an. Jumlah produksi film Indonesia mengalami kemerosotan tajam sejak tahun 1992. Data menunjukan tahun 1994 terdapat 26 judul film yang diproduksi, 1995 ada 22 judul, 1996 ada 34 judul, dan 1997 ada 32 judul.[1] Akibatnya, acara tahunan Festival Film Indonesia (FFI) ditiadakan mulai 1992 karena jumlah film yang terlampau sedikit sehingga tidak layak bagi penyelenggaraan festival. Sebagai upaya mendongkrak jumlah produksi film nasional yang terus merosot pada tahun 1990-an, Lembaga Sensor Film (LSF) agak melonggarkan kriteria penyensoran. Akibatnya, banyak muncul film dengan tema-tema seks dan kekerasan. Pun, film-film seperti itu hanya mampu melayani bioskop menengah ke bawah (bioskop golongan C).
Pada tahun 1995 BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasioanl) memberikan dana produksi kepada dua film nasioanal: Bulan Tertusuk Ilalang (disutradarai Garin Nugroho) dan Cemeng 2005 (disutradarai Putu Wijaya). Kendatipun film Bulan Tertusuk Ilalang memperolah apresiasi yang bagus dalam festival internasioanl, di dalam negeri sendiri justru gagal secara komersial.
Merosotnya jumlah produksi film Indonesia pada dekade 1990-an, kemudian diperparah oleh krisis moneter yang mendera hampir semua sendi ekonomi nasional. Munculnya film Kuldesak, yang diedarkan pada tahun 1998 dan diproduksi secara bergerilya sejak tahun 1996 menandai babak baru dalam pola produksi film. Film yang di sutradarai oleh quartet “ generasi baru” sineas Indonesia (Riri Reza, Mira Lesmana, Nan Triveni Achnas dan Rizal Mantovani) telah berani mendobrak belenggu birokrasi. Misalanya, tanpa mengajukan ini pendaftaran kepada Departemen Penerangan. Hal lain yang unik dari film Kuldesak adalah sumber pembiayaan yang berasal dari “dana patungan” keempat sutradara itu dari proyek komersial mereka di industri televisi Indonesia. Munculnya film Kuldesak jyga menandai leburnya pemilahan yang nyaris sulir dipersatukan selama ini di antara pihak produser dan sutradara. Dengan kata lain, Kuldesak menjadi momen betapa regulasi dalam produski pelan-pelan mulai kehilangan relevansi sosiologisnya serta efektivitas ekonomisnya dalam menjamin bisnis perfilman. Dalam praktiknya, sejumlah film Indonesia yang diproduksi belakangan tak terlampau terikat lagi dengan regulasi pemerintah dalam produksi.
Awal tahun 2000, muncul film berjudul Petualangan Sherina yang dibintangi oleh Sherina Munaf, aktris dan penyanyi cilik berbakat. Riri Reza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar film ini berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Setelah itu munculah berbagai judul film lain dengan segmen dan tema yang berbeda-beda yang juga mendulang sukses secara komersil, seperti film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horror remaja yang pernah bertengger di bioskop Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu ada pula film Ada Apa dengan Cinta yang menampilkan sosok Dian Sastro dan Nicholas Saputra yang merupakan merupakan film roman remaja. Sejak saat itu berbagai judul film dengan berbagai tema dan genre mulai bermunculan seperti Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung, Bintang Menari, Eiffel I’m in Love, Arisan, Daun di Atas Bantal, Ijinkan Aku Menciummu Sekali Lagi, Marsinah, Dealova, Lovely Luna, Beth, Novel Tanpa Huruf R, Bad Wolves, dan Catatan Akhir Sekolah adalah beberapa diantara judul-judul film Indonesia yang memainkan perannya dalam kebangkitan Industri perfilman nasional.
Akan tetapi, di era yang bersamaan dengan lahirnya Keputusan Presiden tentang “ Bidang Usaha Yang Tertutup dan Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal” telah ikut andil “Mematikan” bisnis film di Indonesia. Ini karena keputusan presiden itu memuat ketentuan tertutupnya investasi dari pihak asing dari kemungkinan modal (investasi) asing, dan hal itu membuat perfilaman Indonesia mendapati permasalahan dalam pengadaan dana. Dengan demikian keputusan presiden tersebut sesungguhnya bersifat kontraproduktif dengan upaya mendongkrak jumlah produksi film nasional.
Di sisi lainnya, persoalan distribusi film sama pentingnya dan berhubungan erat dengan produksi film karena setelah film selesai diproduksi kemudian masuk  ke lembaga sensor, film tersebut siap dipasarkan atau didistribusikan.
Berbicara tentang distribusi perfilman merujuk pada realistis bisnis yang menguasai tiga unsur dalam mata rantai bisnis film yang meliputi pengadaan film impor, distribusi atau pengedaran film dan eksebisinya di bioskop yang praktek bisnisnya mengacu pada konsep integrasi vertikal.
 Bersambung......


[1] JB Kristanto, Sepuluh Tahun Terakhir Perfilman Indonesia, www.kompas.com/kompas-cetak/0507/02/Bentara/1857854.htm, 24 Nopember 2005.

No comments:

Post a Comment