Saturday, January 15, 2011

lamunan toilet part 2

Entah kebiasaan buruk atau apa, ketika saya sedang berada di toilet, saya akan merasa lebih nyaman melakukan buang hajat sambil menikmati sebatang rokok atau sambil mendengarkan musik. Tadi sore sesudah buka puasa dengan beberapa buah gorengan dan minuman kaleng, perut saya merasa kurang enak. Saya pun lekas meuju kamar mandi, untuk buang hajat. Lagu "Pangguang sandiwara" yang dipopulerkan oleh Achmad Albar, sayup-sarup terdengar dari arah kamar saya.

".....Dunia ini panggung sandiwara ceritanya mudah berubah....."

Entah karena tidak baca do'a sebelum masuk toilet, atau karena kesurupan jn iprit, tiba-tiba, lagu itu perlahan saya resapi. Sambil iseng saya mencoba mengingat perkembangan dunia seingat saya. Saya merasa dunia ini berkembang dengan jalan yang tidak sama. Beberapa hal yang dilakukan dengan cara besar di garis bawahi atau di stabilo sehingga menjadi sejarah dunia ini. Sementara, cara-cara sederhana kini mengendap dalam sepiring kenangan di benak setiap orang. Para leluhur mengisahkannya, kita yang hidup di jaman sekarang mengingatnya. Banyak yang bermakna pembaharuan dan kemajuan, sisanya berupa keburukan dan kejahatan justru kita bekukan di mesin-mesin pendingin ruangan higga kita seperti enggan menjadikannya memori.

Kalau ngga salah, gara-gara matinya seorang pangeran muda dari Austria, tak lama setelah itu ribuan mayat terkapar di negara-negara eropa. Ya, beruntunglah dunia ini masih dapat menyisakan ruang untuk kenangan atas Houdini, sang magisian-praktis. Ada juga seorang Jerman berkumis aneh yang berusaha memetakan sejarah rasial yag lain di kamp-kamp kosentrasi yang kemudian dihisap secara massal dengan racun gas pembantaian. Dan jauh sebelum Steven Spielberg menggambarkannya dalam film Schlinder's List, Charlie Chaplin sudah melakukannya lewat akting-akting film bisu. Selalu ada yang kontradiktif sekaligus resisten. Penentangan dilakukan di setiap jaman dengan caranya masing-masing.

Kita juga bisa melihat nada yang sama dalam hal penentangan kelaliman. Dibalik suara melodiusnya Frank Sinatra tidak sebanding dengan hardikan lagu-lagu RATM yang bikin pekak. Kita mestinya mencari tahu jangan-jangan Sinatra lebih bersikap sosialis daripada Zack De La Rocha? Tak usah jauh, ditempat kita saja Koes Plus yang sibuk bersyair cinta dianggap kapitalis walau mereka bingung atas tudingan serampangan itu. Ya, mungkin ini bisa diartikan telunjuk kita tidak seharusya dilayangkan sekenanya. Ketika kita sibuk menilai sangatlah mungkin penilaian tersebut tidak diperlukan arena rel sejarah kita sepertinya lebih banyak bersifat relatif dari pada kalkulatf.

".....Setiap insan dapat satu peranan, yang harus kita mainkan...."

Apa yang bisa dibilang oleh para moralisjika mereka memelototi polah kaum muda pemadat yang enteng saja dengan lingkungannya seperti dalam film Trainspotting? Atau seperti dalam lirik Homicide "sejak parameter pahala diukur dengan seberapa banyak kepala yang kau pisahkan dengan nyawa?" dan bagaimana dengan mereka yang hanya bisa menegakan lafadz-lafadz Alloh di pegunungan? Demarkasi itu tak lagi berarti. Ada yang harus bergerak dalam pkiran manusia, hari ini jahat dan esok lusa entah: jadi baik atau makin munafik. Namun biarkan saja toh dia mengijinkan punggungnya dibebani risiko untuknya sendiri. "Time and time time again, you think about yourself before you think about me", kata Papa Roach dalam lagunya yang berjudul"Time and time again". Ada pengalaman, kebaruan dan perkembangan, walaupun mungkin tak sepenuhnya dengan konvensi publik.

Dari jaman Ghandi dengan swadesi sampai lirik-lirik punk rock semacam Propaghandi kita tahu tidak ada kebaruan yang orisnal. Jauh sebelum SOAD yang protes dengan perang dalam lagu "boom!" sex pistol pernah membuat single " anarchy in The UK" atau di negeri kita, sebelum band punk asal bandung, Jeruji mengenalkan tagline "Lawan" Wiji tukul yag tergabung dalam jaringan kesenian rakyata sudah meneriakan itu di masa sebelumnya yang membuat dirinya hilang entah kemana.

Dunia adalah kereta, litasan sejarah segenap buana adalah relnya. Setiap stasiun yang dijelang kereta menjadi area persinggungan banyak badan dan pikiran: orang-orang hilir mudik menuju peron, bersenda gurau atau mengantuk, menunggu berangkat, ditunggu sanak beranda. Ada yang bertegur sapa, ada yang diam-diam bermaksud menyikat harta milik orang disampingnya. Setiap peluit tanda berangkat dibungikan, hanya kereta dan relnya yang bersepakat menuju titik pemberhentian berikutnya. Hingga kelak tiba di ujung perjalanan: stasiun terakhir.

* Disadur dari buku: berontak [bukan] tanpa sebab

No comments:

Post a Comment